Jayapura -- Sebanyak 18 mahasiswa asal Papua yang ikut dalam Program Afirmatif Pendidikan Tinggi (Dikti) 2012 dari Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang ditempatkan di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengaku merasa terlantar. Sebab mereka merasa belum mendapat dukungan fasilitas pendidikan, seperti asrama, biaya hidup, dan pendukung lainnya di kampus.
Hal ini disampaikan Ketua Ikatan Mahasiswa Papua di NTB (IMAPA-NTB),
Melky Sedek Samon. “Kami menilai progrma UP4B tak diseriusi secara baik
dalam penanganan mahasiswa yang direkrut dengan berbagai disiplin ilmu
di beberapa universitas ternama di seluruh indonesia,” katanya ke tabloidjubi.com lewat handpone, Selasa (2/10).
Menurut Melky, persoalan mendasar adalah tidak ada fasilitas
pendukung yang disediakan awal untuk kepentingan kelanjutan
mahasiswa-mahasiswa itu. “Misalnya seperti asrama, biaya hidup dan
makan, biaya pendukung lain di kampus. Apalagi beberapa dari mereka
sedang ambil ilmu kedokteran dan tidak pernah mengikuti praktek,
dikarenakan tak ada biaya praktek dan buku-buku penunjang lainnya,”
jelasnya.
Melky menjelaskan, para mahasiswa Papua yang baru masuk Universitas
Mataram, NTB, masing-masing ada dua orang di Jurusan Kedokteran, tiga
orang Jurusan Mesin, satu orang Jurusan Elektro, lima orang di Jurusan
Teknik Sipil, tiga orang di Jurusan Pertanian, dan dua orang di Jurusan
Ekonomi Akutansi. “Akibatnya, ada banyak mahasiswa ini berkeinginan
balik ke Papua untuk masuk di universitas yang ada di Papua. Bahkan kini
sudah ada dua orang yang pulang,” katanya.
Hal senada dibenarkan, Sekertaris IMAPA–NTB, Yulius Irsan Wou.
Menurutnya, sejak awal rombongan mahasiswa baru ini dari Papua dan tiba
di Mataram pada tanggal 7 September 2012, semua aktivitas berjalan baik,
apakah di kampus ataukah masalah biaya praktek dibiayai oleh mahasiswa
sendiri.
“Sementara setiap rumah kos yang ditempati para mahasiswa biaya per
bulannya dari Rp 500 ribu hingga Rp 900 ribu per bulan. Sehingga
mempengaruhi proses belajar di kampus. Bahkan nantinya, jika tak mampu
membayar, pasti akan dikeluarkan dari kampus,” kata Yulius.
Menurut Yulius, mahasiswa yang ada saat ini sudah tak punya biaya
lagi, sehingga sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah, terutama
dalam program ini. “Semoga ada keberpihakan yang jelas dan perhatian
dalam program ini, sehingga mahasiswa yang ada tidak terlantar,”
harapnya.
Sekadar diketahui, Program Afirmatif Dikti 2012 yang diprakarsai UP4B
pada Agustus 2012, telah meminta sebanyak 31 rektor Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) se Indonesia berada di Papua untuk menerima 747
putera-puteri calon mahasiswa asli Papua, yang lolos seleksi program
itu.
Para calon mahasiswa ini akan menempuh pendidikan strata 1 (S1) atau
sarjana di berbagai PTN di luar Papua dengan mendapatkan beasiswa dari
Dirjen Pendidikan Tinggi. Mereka memilih salah satu dari 40 program
pendidiakn, diantaranya kedokteran, teknik, arsitektur, akutansi,
peternakan, statistika dan berbagai bidang lainya.
Menanggapi hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam group jejaring sosial facebook
untuk UP4B, dijelaskan berulang kali telah disampaikan bahwa UP4B
bukanlah sebuah lembaga eksekutor (pelaksana). Sehingga UP4B tidak
memiliki program dan dana, yang memiliki program dan dana adalah
pemerintah daerah dan kementerian/lembaga.
Peranan UP4B adalah sebagai pemerakarsa atau inisiator Program
Afirmatif Dikti 2012 berperan sebagai fasilitator pertemuan antara
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti, Majelis Rektor
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) dengan Dinas Pendidikan
Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Program Afirmatif Dikti 2012. Juga hanya
mengadakan seleksi dan memutuskan penerimaan calon para mahasiswa adalah
masing-masing PTN melalui rapat-rapat MRPTNI.
Disampaikan pula, beberapa klarifikasi beberapa hal mengenai Program
Afirmatif Dikti 2012, diantaranya, pemberian beasiswa dalam bentuk
pembebasan uang pangkal dan uang kuliah/ SPP selama 4 tahun sudah
diberikan oleh PTN penerima (ini bisa mencapai ratusan juta rupiah).
Biaya pendidikan di PTN akan ditanggung Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
“Biaya keberangkatan putra-putri asli Papua ke PTN tujuan diberikan
oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Ada beberapa diantaranya Pemerintah
Daerah Kabupaten/ Kota yang memberikan bantuan tiket dan uang saku saat
putra-putri mereka berangkat,” demikian tulisan dari jejaring sosial di
UP4B facebook group. Sedangkan beberapa staf UP4B yang dipercayakan, saat dihubungi belum sempat memberikan penjelasan.
Pada bagian lain, dijelaskan pula oleh lembaga yang dipimpin Bambang
Dharmono sebagai pimpinan UP4B, bahwa dana Bantuan Jatah Hidup untuk 6
bulan pertama sebesar Rp 600-800 ribu per bulan, tempat tinggal dan
transportasi diberikan oleh Dikti yang selanjutnya bulan ke-7 (tujuh),
dan seterusnya harus sudah ditanggung oleh Pemerintah Daerah Provinsi.
Beberapa minggu terakhir ini mereka sedang merealokasi budget untuk
bantuan jatah hidup tersebut dan ini butuh waktu. Inilah masa kritis dan
banyak putra-putri asli Papua ini yang tidak tahan dan pulang. (Jubi/Eveerth Joumilena)
Sumber : http://tabloidjubi.com
0 Response to "18 Mahasiswa Papua Program Afirmatif UP4B “Terlantar” di Mataram "
Posting Komentar