JAKARTA-- Penjelasan Juru Bicara
Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Bina Graha, Jakarta, Senin
(11/6/2012), terkait kondisi secara umum keamanan di Papua kondusif
dinilai tidak tepat. Sikap Istana itu menunjukkan penyederhanaan masalah
atas perkembangan situasi Papua yang justru sebaliknya, mengingat
kekhawatiran masih tinggi, baik di masyarakat ataupun pihak berwenang.
"Kalau
dibilang Papua sudah kondusif jelas ngawur, sebab fakta di lapangan,
kan tidak demikian. Pertandingan sepakbola dalam laga nasional di
Jayapura oleh Liga Super Indonesia pada Selasa ini, nyatanya tidak
diizinkan kepolisian akibat pertimbangan keamanan," kata Ketua Dewan
Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle Syahganda
Nainggolan, Selasa (12/6/2012) di Jakarta.
Ia menganggap
pernyataan pihak istana itu bersifat kontradiktif karena di sisi lain
mengakui masih terjadi teror berupa penembakan terhadap warga sipil,
termasuk aparat bersenjata. Padahal, kondisi Papua bahkan di wilayah
perkotaan Jayapura sejauh ini tergolong mencemaskan. Selama kurang dua
pekan sejak 29 Mei-10 Juni 2012 terjadi tujuh rentetan kasus penembakan
kepada warga sipil dan aparat hingga tewas, mulai korban turis asal
Jerman bernama Pieter Dietmar Helmut pada 29 Mei, kemudian seorang
pelajar SMU, Gilbert FM pada 4 Juni, dan sehari kemudian menewaskan
anggota TNI, Pratu Doengki Kune.
Pada hari bersamaan, penembakan
kembali dilakukan atas warga sipil, yaitu Iqbal Rivai serta Ardi
Jayanto. "Selang hari berikut, 6 Juni, kasus serupa menimpa
pegawai negeri sipil Kodam Cenderawasih, Arwan Apuan, yang disusul
penembakan terhadap anggota satpam supermarket, Tri Sarono pada Minggu
(10/6/2012) malam.
Di tempat lain, persisnya Kampung Kulirik,
Distrik Mulai, Kabupaten Puncak Jaya, seorang guru SD Inpres Dondobaga,
Anton Arung Tambila juga ditembak oleh orang tak dikenal pada 29 Mei
saat berada di warung kelontong.
Menurut Syahganda, penyelesaian
rangkaian kasus memilukan yang terjadi di Papua memerlukan beban ekstra
dengan keterlibatan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
sehingga akar persoalan utama dapat dipecahkan seiring penciptaan rasa
damai bagi warga Papua.
"Persoalan inti Papua itu bukan
semata-mata keamanan, tapi meliputi aspek kesejahteraan ekonomi,
ketidakadilan pembangunan, serta pengakomodasian aspirasi politik
masyarakatnya untuk memenuhi kemartabatan Papua," tuturnya.
Syahganda
mengatakan, penanganan permasalahan Papua di bawah Presiden Yudhoyono
dipandang wajar dengan melihat kemelut Papua yang memang tidak
sederhana, di samping telah menguat sebagai isu di tataran
internasional.
Dengan peran Presiden Yudhoyono pula, perspektif
nasionalisme maupun upaya mengukuhkan semangat NKRI dalam mengurai mata
rantai masalah Papua akan lebih dikedepankan.
"Jadi, pilihan
menyelesaikan Papua oleh Presiden Yudhoyono adalah mutlak, apalagi
secara khusus Presiden memiliki ikatan moral karena ayahanda mertuanya,
Brigjen Sarwo Edhi Wibowo pernah menjabat Pangdam XVII/Cenderawasih di
Jayapura pada 1968-1970, dan relatif membuat Papua tidak bergolak,"
jelasnya.
Latar belakang keberadaan Sarwo Edhi itu, kata
Syahganda, dipercaya bisa menguatkan tekad Presiden Yudhoyono dalam
mengupayakan Papua yang damai, bermartabat, sekaligus tetap terjamin
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://nasional.kompas.com
0 Response to "Penjelasan Istana Soal Keamanan Papua Tak Tepat"
Posting Komentar